• (022) 7830826 / 0813 1291 2931
  • cs@tehwalini.com
0
  • Keranjang Belanja Kosong
Total Rp. 0
Checkout
#

[West Java Tea History] Sisi Lain dari Seorang Max Izaak Salhuteru

Di tengah siang hari yang panas, kami berkunjung ke rumah Ibu Camellia Salhuteru, di bilangan Bandung. Meskipun Bandung sedang panas-panasnya, suasana ruang tamu di rumah Ibu Lia (begitu sapaannya) tidak demikian.

Di salah satu sisi tembok ruang tamu tersebut, terdapat potret almarhum ayah dari Ibu Lia, Bapak MaximiliaanIzaac Salhuteru beserta istrinya.

Di sampingnya terdapat lukisan-lukisan karya Bapak Max dan foto necis beliau menggunakan pakaian perkebunan khas jaman dulu; celana pendek, kaos kaki panjang, kemeja dan topi putih.

Ditemani suara gemericik air kolam, kami diajak menyusuri kembali memori Ibu Lia tentang ayahnya yang dikenal sebagai sebagai tokoh yang menasionalisasi Perkebunan di Jawa Barat.

Cerita dimulai ketika Bu Lia, mengenang kembali masa kecilnya ketika berumur 7 tahun. Saat itu, Lia kecil seringkali ?dipaksa? oleh ayahnya untuk ikut inspeksi harian ke pabrik-pabrik teh dan perkebunan-perkebunan di Sperata, Sinumbra, Rancasuni, Montaya, serta Gedeh.

?Lia gamau ikut papih, Lia mau di rumah aja?

?Nee, kamu ikut papih ke kebun?, sambil diangkatnya Ibu Lia dan didudukkan di mobil dinasnya.

Ibu Lia tidak tahu kenapa ?harus ikut dengan ayahnya ke perkebunan-perkebunan, yang Lia kecil tahu saat itu hanyalah bermain.

Dengan tertawa, Ibu Lia juga bercerita

?Pernah satu hari, papi baru tasting teh di pabrik. Saya yang bosan, pergi ke ruang pelayuan. Saya liat ada monorail baru yang mengangkut pucuk teh ke bak pelayuan. Saya naik itu monorail yang bergantung untuk membawa keranjang pucuk teh sampai keatas.

Ayah saya yang kaget saya hilang, nyariin saya sambil teriak ?Lia, kamu dimana? Lia!?. Saya yang keasyikan bermain, gak denger papi nyariin saya. Yaaah, kenakalan anak-anak namanya juga heu?, kelakar Ibu Lia.

------

Namun, dari pengalaman ketika ikut ayahnya bekerja, ada beberapa pesan moral yang yang masih diingat betul oleh Ibu Lia. Antara lain;

Saat inspeksi kebun, ayahnya selalu memanggil pedagang makanan yang lewat, baik itu pedagang cincau, pedagang bajigur dan bandrek untuk berhenti ke tempat beliau ngariung. Seluruh pemetik teh dan bekerja di lokasi itu ditraktirnya.

Sambil bersantai menikmati minuman yang dibelinya, beliau bertanya apa kesulitan mereka juga memberikan nasehat kepada mereka. Intisari dari nasehat tersebut adalah kita semua harus selalu bisa saling menghargai, saling tolong-menolong dan saling menghormati satu sama lainnya.

Yang membuat Bapak Max Salhuteru sangat dekat dengan karyawannya, karena beliau tidak hanya bisa berbahasa sunda. Tapi beliau pandai memainkan alat musik dan kesenian-kesenian khas sunda, meskipun beliau lahir di Jakarta dan berdarah Maluku.

Selain nyunda, Bapak Max Salhuteru yang seorang katolik, tetapi beliaulah mendesain masjid di Kebun Sinumbra, Kebun Rancasuni dan Sperata selain rumah-rumah baru staf dan karyawannya.

?Saya dulu diwajibkan belajar mengaji bersama kakak-kakak saya. Tapi memang dasar anak-anak, kami seringkali bolos dan rupanya Papih mengetahuinya, sampai satu ?malam, saya dan kakak saya dipanggil oleh papih.

?Lia, Lisye, Emma kadieu. Cing geus tepi dimana ngaji teh, (Lia, Lisye, Emma, kemari. Sudah sampai mana ngajinya?) sok ngaji depan papih? kata beliau.

Kakak saya langsung bilang ?Udah, asal-asalan aja bacanya, papih paling gak paham sama cara bacanya?

Kami pun asal-asalan baca kitab itu. Tetapi, beliau memotong kami mengaji (yang asal-asalan itu) ?Bukan gitu? bacanya, begini bacanya? katanya. Dan Papihpun dengan fasih membaca Al-Quran.

Lah, ternyata papih lebih jago baca kitab dibanding anak-anaknya, dan kamipun dihukum berdiri dengan kaki sebelah diangkat, di sudut ruangan.

Dengan begitu papih mengajarkan bahwa kewajiban apapun harus dilakukan dengan baik dan benar, tidak berbohong,? jujur dan harus bertanggung jawab.?

------

Tidak terasa 2 jam kami semua diajak Ibu Lia menyelami memori masa kecilnya bersama papihnya.

?Sampai akhir hayatnya, beliau dedikasikan kepada Perkebunan yang beliau cintai, ini terbukti beliau mengalami serangan jantung setelah membuka rapat pimpinan dan meninggal di Surabaya ketika menjalankan tugasnya sebagai Kepala Perkebunan Jawa & Sumatera.

Walaupun dulu saya tidak tahu kenapa saya yang selalu diajak papih buat inspeksi kebun, tetapi sekarang saya tahu dan mengerti bahwa pendidikan, ajaran mengenai bagaimana kita harus bersikap baik kepada semua orang, baik terhadap atasan, bawahan dan semua orang dengan status sosial apapun.?

Berharap cerita-cerita tentang Bapak Max Salhuteru ini mengenai perjuangan dan kecintaan beliau terhadap Perkebunan ini layak diketahui dan dijadikan contoh.

Kami pun pamit dari rumah Ibu Camellia selepas adzan dhuhur.

Ibu Lia juga berterima kasih kepada kami dan merasa terharu, karena ada pihak-pihak ?apalagi anak-anak muda yang masih peduli? dan ingin mengetahui sejarah dan pelaku sejarah yang berjasa terhadap Perkebunan, khususnya Perkebunan Teh di Jawa Barat.

?Hati-hati di jalan ya nak, semoga kalian diberi kesehatan dan jangan lupa mampir lagi ya?, ujarnya.

Pasti Ibu, kami akan datang lagi.